Jumat, 08 April 2016

SANDERA ABU SAYYAF



RI Memantau 10 WNI 
Melalui Satelit
     
     Abu Sayyaf adalah salah satu kelompok separatis paling berbahaya. Diketahui beberapa anggotanya pernah belajar atau bekerja di Arab Saudi dan mengembangkan hubungan dengan mujahidin ketika bertempur dan berlatih di Afganistan dan Pakistan, yang kini disebut kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Saat ini kelompok tersebut tengah menyandera Warga Negara Indonesia (WNI) yang berjumlah tujuh orang, dari awal berjumlah 10 orang.
      Kesepuluh sandera itu adalah Peter B Tonson (kapten), Julian Philip, Mahmud, Suriansyah, Surianto, Wawan Saputra, Bayu Oktavianto, Reynaldi, Alvian Elvis Peti, serta Wendi Raknadian. Mereka sudah disandera setidaknya dua hari sebelum 26 Maret. Kelompok itu meminta tebusan 50 juta peso atau setara Rp 15 miliar. Dalam upaya pembebasan WNI, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Mrasudi melakukan upaya perbincangan dengan negoisasi dengan negara Filipina. Bahkan dalam opsi ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyarankan agar terjalin dialog, agar seluruh WNI pulang dengan selamat.
"Opsi dialog tetap dilakukan, untuk menyelamatkan yang disandera," kata Jokowi usai menonton babak pertama final Bhayangkara di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (3/4).
      Di tengah menjalin dialog dengan kelompok Abu Sayyaf, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan, bahwa lokasi penyanderaan telah dikepung oleh pasukan militer Filipina. Namun Ryamizard mengatakan bahwa saat ini Indonesia dilarang untuk masuk ke lokasi tersebut. "Operasi militer di tangan Filipina, kami tidak boleh masuk. Iya lokasinya sudah dikepung oleh militer Filipina," singkat Ryamizard usai rapat di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (4/4). Apa bila nantinya dialog berjalan buntu dan bangsa Indonesia tetap diminta uang tebusan, Ryamizard menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengeluarkan uang sama sekali. Namun, dirinya tetap mendepankan dialog dapat terjadi dengan baik.
      "Kelompok Abu Sayyaf itu bukan satu, dia bertebaran. Kelompok, kelompok dan kelompok. Kemudian kelompok yang di sana, kelompok yang kering, yang kurang makan, itu masalah perut lah kira-kira begitu," pokoknya yang jelas bukan uang negara, negara ini tidak mengeluarkan uang. Tidak mau" ujar Ryamizard di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Kamis (7/4).
Ryamizard beralasan tidak ingin mengeluarkan uang tebusan karena Indonesia tidak mau dianggap sebagai bangsa yang lemah lantaran diperas kelompok Abu Sayyaf. Tetapi saat ini pemerintah lebih memilih membebaskan 10 WNI yang disandera tersebut melalui jalur militer. Kata Ryamizard, pemerintah Filipina sudah menyiapkan pasukannya tiga batalyon untuk membantu membebaskan WNI yang tersisa. Bahkan Indonesia pun telah siap apa bila Filipina meminta bantuan. "Bukan siap lagi, lebih dari siap. Tapi kan, ada aturan kalau mau masuk wilayah itu (Filipina)," pungkasnya.
   Presiden Joko Widodo telah memantau perkembangan terakhir keberadaan 10 warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf. Sudah diketahui di mana 10 WNI disandera. "Kita sudah tahu dari pantauan satelit atau orang-orang kita ada di mana, kita sudah tahu secara detail. Kita ada peralatan itu dan tahu mereka di mana tetapi kita menghormati pemerintah Filipina dan harapannya segera dibebaskan," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (8/4).
      Diterangkan Pramono, Presiden melalui Menteri Luar Negeri terus berkoordinasi dengan pemerintah Filipina. Kendati terus berkoordinasi, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri sudah siap jika suatu waktu Filipina meminta bantuan untuk membebaskan 10 WNI. "Kita masih menghormati konstitusi yang dimiliki Filipina tetapi TNI dan Polri sudah siap. Apalagi kemarin Polri maupun Panglima TNI sudah melaporkan," lanjutnya.
      Pramono belum bisa memastikan apakah tenggat waktu penebusan duit yang diminta Kelompok Abu Sayyaf jatuh pada hari ini atau masih terus berlanjut. Hal ini dikarenakan kelompok Abu Sayyaf tidak mengatakan secara langsung batasan waktunya.
"Sebenarnya informasi itu berkembang awal tapi kenyataannya masih berlangsung proses diplomasi baik dengan pemerintah Filipina dan mereka ada di depan untuk membebaskan warga negara kita," tandasnya.

sumber: merdeka.com

Tidak ada komentar: