Sabtu, 04 September 2010

Pendidikan dan Tradisi Membaca Umat Islam


Suatu hari ada seorang alumni Al Khoirot bertanya pada saya, mungkinkah Islam mencapai masa keemasan (Islamic Golden Age) seperti dulu? Yang dimaksud dengan masa keemasan Islam adalah masa antara pertengahan abad ke-8 sampai ke-14 masehi atau abad ke-2 sampai ke-8 hijriah.

Era keemasan Islam adalah periode aktivitas keilmuan yang tak tertandingi di segala bidang: sains, teknologi, dan literatur, khususnya biografi, sejarah, dan linguistic. Sebagai contoh, para sarjana dan intelektual, dalam mengumpulkan dan menguji hadits Nabi, telah mengoleksi sejumlah besar informasi terkait dengan pribadi Nabi dan informasi lain seputar sejaah dan bahasa pada masa Nabi. Dari riset luar biasa itu maka muncullah karya-karya monumental seperti Sirah Rasulillah, ”Kehidupan Nabi,” oleh Ibnu Ishaq, yang kemudian direvisi oleh Ibnu Hisham. Buku ini adalah salah satu karya sejarah Arab, Islam dan kehidupan Nabi paling awal yang menjadi rujukan utama karya-karya setelahnya.
Pada masa inilah para seniman, insinyur, sarjana, filsuf, geografer dan pengusaha memainkan peran penting di bidang pertanian, seni, ekonomi, industri, hukum, sastra, navigasi, filsafat, sains, sosiologi, teknologi, baik dengan cara memelihara tradisi-tradisi lama maupun dengan menambahkan inovasi dan penemuan-penemuan mereka sendiri.
Islam Saat Ini
Kejayaan Islam di segala bidang itu menjadi kenangan masa lalu. Umat Islam dalam abad-abad terakhir berada dalam posisi yang tidak beruntung. Mereka menjadi mayoritas di negara-negara berkembang yang menjadi negara-negara jajahan bangsa-bangsa Eropa dan baru merdeka sebagai negara berdaulat pada 1940-an ke atas.
Kenyataan bahwa negara-negara Islam baru merdeka beberapa dekade ini sangat berdampak buruk pada banyak hal, dua yang terpenting dan relevan dengan tulisan ini adalah:
Pertama, kemiskinan. Hampir semua negara yang baru bebas dari penjajahan, baik negara mayoritas Islam atau Kristen, mendapat predikat sebagai negara berkembang (developing), terbelakang (under-developed) atau negara ketiga (third world). Artinya, negara miskin. Kemiskinan suatu negara berdampak pada kemiskinan rakyatnya.
Kedua, pendidikan. Negara dan bangsa yang miskin memiliki prioritas yang berbeda dibanding negara maju (developed). Pendidikan yang setinggi-tingginya bukanlah prioritas orang tua di negara miskin. Bagaimana mungkin pendidikan menjadi prioritas, kalau hal yang paling fundamental dalam hidup, yaitu sandang, pangan dan papan masih belum atau sulit terpenuhi?
Rendahnya dan tidak meratanya pendidikan berdampak pada banyak hal-hal negatif lain seperti minimnya minat dan kebiasaan membaca, lemahnya wawasan, tidak adanya spirit penelitian, kurangnya kedewasaan berfikir dan toleransi antar kelompok, lemahnya disiplin, meningkatnya pengangguran, dan lain-lain.


Level Pendidikan dan Kesejahteraan
Seperti disinggung di muka, kondisi kaya-miskin berpengaruh erat pada pendidikan dan level pendidikan yang dicapai. Sekedar ilustrasi, di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), 85 persen penduduknya sudah menyelesaikan SLTA dan 27 persen tamat sarjana S1 atau lebih. Bandingkan dengan Indonesia di mana menurut data tahun 2007 terdapat 20,63 persen lulusan SLTA dan hanya 6,58 persen lulusan perguruan tinggi. Data untuk Indonesia sebenarnya mewakili realitas yang ada di negara-negara berkembang lain yang penduduknya beragama Islam.
Seperti diketahui, tinggi-rendahnya level pendidikan terkait erat dengan tinggi-rendahnya penghasilan walaupun hal ini bukan satu-satunya parameter. Dari sini terjadilah apa yang disebut dengan lingkaran setan (vicious cycle): pendidikan rendah karena orang tua miskin, tercipta orang miskin baru, anak dari orang miskin yang baru tingkat pendidikannya rendah juga, dan seterusnya.
Meningkatkan Taraf Pendidikan Kaum Dhuafa
Untuk menyetop lingkaran setan kemiskinan dan meningkatkan level pendidikan kaum miskin di negara berkembang, maka diperlukan usaha pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat berupa negara atau pemerintah, perusahaan-perusahaan besar, lembaga pendidikan dan para hartawan yang peduli dengan sesamanya.
Pemerintah dalam hal ini sudah melakukan perannya walaupun belum maksimal seperti diluncurkannya dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) pada 2005 bersamaan dengan wajib belajar 9 tahun. Artinya, dari SD sampai SMP didanai pemerintah. Dan sejak 1978 meningkatnya anggaran pendidikan menjadi 20 persen (yang asalnya 10 persen) dari dana APBN. Adalah sangat ideal kalau program wajib belajar tidak hanya 9 tahun, tapi 16 tahun atau sampai sarjana S1.
Perusahaan-peruhaan besar saat ini juga memainkan perannya dengan memberikan beasiswa pada kalangan pelajar dan mahasiswa yang kurang mampu dengan program yang dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Lembaga-lembaga pendidikan juga memiliki program beasiswa bagi siswa tidak mampu agar mereka tetap memiliki harapan, peluang dan masa depan yang sama .
Tradisi memberikan beasiswa atau membiayai sekolah anak miskin tampaknya belum terbiasa dilakukan kalangan individu hartawan di Indonesia. Kelompok hartawan kelas menengah ke bawah cukup banyak di Indonesia. Kalau seandainya setiap individu dari kelompok ini berkemauan untuk membiayai satu anak miskin saja sampai tingkat S1, tentu ini berdampak luar biasa bagi yang anak yang dibantu dan bagi masa depan bangsa ini dalam jangka panjang.
Tradisi Membaca
Apabila pendidikan meningkat, maka tradisi membaca juga meningkat. Sebuah penelitian yang diadakan oleh Naitonal Center for Education Statistics (CES), Amerika, menyatakan bahwa kebiasaan membaca itu identik dengan pancapaian pendidikan: semakin tinggi level pendidikan seseorang, semakin senang ia membaca koran, majalah, buku setiap hari.
Memang, ciri khas dari negara dan bangsa maju adalah tradisi membaca rakyat yang tinggi. Gemar membaca, hobi membeli dan mengoleksi buku adalah suatu fenomena yang mudah dilihat di negara-negara maju. Tradisi membaca bisa dilihat dari kalangan turis bule yang datang ke Indonesia di mana mereka umumnya menggunakan waktu luangnya dengan membaca, baik saat berada dalam bus, kereta api, atau sedang antri.
Menurut CES, 57 persen warga Amerika dengan taraf pendidikan SLTA dan S1 membaca buku setiap hari. Tradisi membaca buku yang tinggi di AS dan negara-negara maju yang lain seperti Inggris, Jepang, persis dengan yang terjadi pada zaman keemasan Islam.
Tradisi membaca buku di Indonesia bisa dilihat dari data jumlah buku yang diterbitkan setiap tahunnya yang ternyata paling rendah di Asia yaitu hanya sekitar 8.000 judul buku per tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun.
Minimnya tradisi membaca di Indonesia bisa juga dilihat dari seberapa banyak kalangan terdidik, seperti para guru dan dosen, yang berlangganan koran, majalah dan memiliki koleksi buku. Begitu juga, kalangan hartawan di perkotaan, apalagi di pedesaan, lebih suka mengoleksi barang-barang antik mahal dan barang pecah belah di lemari ruang tamunya daripada memamerkan buku. Buku belum menjadi koleksi kebanggaan di Indonesia termasuk di kalangan yang cukup terdidik.
Padahal banyaknya informasi yang dibaca akan berdampak positif langsung pada sikap toleransi dan kearifan setiap individu pada kelompok lain yang tidak sepaham. Banyak konflik terjadi karena minimnya informasi dan keilmuan dari masih-masing pihak sehingga cuma mengandalkan informasi dari patron (tokoh yang dihormati).
Kesimpulan
Dari ulasan singkat ini dapat disimpulkan bahwa kebangkitan Islam dapat dicapai dengan meningkatnya kualitas pendidikan setiap individu muslim. Semakin tinggi dan merata level pendidikan, semakin terbuka pintu menuju era kebangkitan Islam. Kebangkitan Islam yang berkelanjutan tidak dapat dicapai dengan senjata, perilaku intoleransi dan kebanggaan kelompok (eksklusivisme) yang sempit. Sikap intoleransi membuat umat Islam mudah dipecahbelah provokator selama ratusan tahun. Umat yang ingin maju harus belajar dari kesalahan sejarahnya sendiri. Bukan mengulanginya berkali-kali. (oleh : A. Fatih SyuhudDitulis untuk Buletin Alkhoirot Edisi Agustus 2010
Pondok Pesantren AlKhoirot Malang, Jatim)


Selasa, 17 Agustus 2010

65 TAHUN INDONESIA MERDEKA

REFLEKSI ANAK BANGSA



Dicatat dari sejarah bangsa yang merdeka 65 tahun lalu, di bulan suci Ramadhan 65 tahun yang lalu bangsa ini bergeliat membebaskan diri dari belenggu. Perjuangan dan do’a anak bangsa generasi masa lalu telah tergapai dan terwujud dalam pekik takbir perjuangan “Arek-arek Surabaya 10 Nopember 1945” oleh Bung Tomo di “Radio Pemberontak” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Merdeka atau Mati”. Membela Negara untuk Merdeka dengan darah dan air mata seantero Nusantara, mati sahid dalam ladang jihad untuk merdeka telah tertanam dalam jiwa kesatria yang berbalut “Merah Putih”.

Kini 65 tahun kita merdeka, harapan dari sebuah kenangan masih belum terwujud, kita masih butuh jihad (perjuangan) mengisi kemerdekaan dengan membangun mentalitas bangsa yang beragam budaya dengan Pancasila yang religious, jujur, berkeadilan social. Sebagai anak bangsa kita bangga menjadi Indonesia. Banyak anak bangsa yang kini berjihad untuk Negara dengan tanpa pamrih di lading-ladang jihad bidang ekonomi, bidang politik, bidang pemerintahan, bidang social, bidang teknologi, bidang olah raga, bidang ilmu pengetahuan yang kesemuanya berkobar dalam jiwa “Merah Putih” dengan pekik takbir kemerdekaan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” kobarkan semangat jihad (perjuangan) anak bangsa, berjuang tanpa pamrih tegakkan supermasi hokum, supermasi politik, supermasi kejujuran pemegang kendali bangsa, luluhlantakkan Korupsi, Kolusi, Nepotisme bangsa.
Jangan jadikan bangsa ini hanya sebuah bangsa yang bisanya menghargai jihad (perjuangan) dengan symbol belaka “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan” padahal pahlawan tidak pernah minta “dihargai”, seandainya mereka dapat melihat kita yang merdeka, pahlawan kita menangis, menangis meneteskan air mata yang tiada habisnya.

Senin, 28 Juni 2010

ARIEL, LUNA, CUT TARI

Bagaimana Menyikapi Video Porno (Mirip)
Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari?




Beredarnya kasus video porno (mirip) artis Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari telah menimbulkan pro dan kontra. Yang menghujat Ariel cs, membela, menista, berhati-hati, ada juga yang masa bodoh atau tidak tahu alias bingung mau bersikap apa.
Bagi yang termasuk golongan terakhir (yang bingung), poin-poin berikut dapat jadi rujukan untuk bersikap.
Pertama, ketiga artis yang diduga pelaku video porno yakni Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari menganut agama Islam. Sebagai seorang muslim, mereka telah melakukan dosa besar dengan melakukan zina, kecuali kalau sudah melakukan nikah sirri (untuk Ariel – Luna).
Kita, sebagai seorang muslim, harus memiliki sikap yang menolak perzinahan. Dalam melihat perilaku kemungkaran seperti ini, Nabi memberi tiga pilihan yaitu (a) merubah dengan tangan/kekuasaan (falyughayyirhu biyadihi), (b) mengingatkan dengan kata-kata (fabilisanihi), (c) ingkar dengan hati (fabiqalbihi).

Kedua, seorang muslim seperti kita harus ingat bahwa idola utama kita adalah Rasulullah. Artinya, standar nilai benar dan salah yang harus dilakukan atau dijauhi harus berdasar pada ajaran Islam. Setelah itu, adalah manusiawi kalau kita mengagumi seseorang berdasar karya atau prestasinya. Sepanjang kekaguman itu tidak merusak standar nilai baik-buruk yang kita anut.
Pengidolaan yang berlebihan pada selebritis akan berakibat pada (a) pembenaran apapun yang dilakukan (b) pembelaan membuta pada sang artis dan (c) penyikapan yang bodoh atas perilaku yang dilakukan mereka.
Ketiga, dalam segi proses hukum, semua komponen bangsa, termasuk para pengagum ketiga artis, hendaknya mendukung tindakan pemerintah dalam hal ini polisi yang membawa Ariel ke proses pengadilan. Tindakan mereka, baik untuk koleksi pribadi atau umum, adalah pelanggaran moral agama dan etika dan karena itu harus diambil tindakan yang menimbulkan efek jera tidak hanya pada artis-artis terkait tapi juga pada yang lain.

Kesimpulan
1. Kasihani para artis muslim yang telah khilaf berzina, tapi jangan bela mereka. Jangan dinista atau dibenci, juga jangan dipuji bak dewa. Pada saat yang sama ingatkan mereka supaya bertobat dan minta maaf pada publik atas tersebarnya video mereka yang meracuni generasi muda.
2. Ingkar dalam hati atas perilaku buruk orang lain adalah benteng terakhir seorang muslim dalam menjaga nilai-nilai keislamannya. Jangan korbankan nilai ini, demi membela secara membuta artis pujaan.
3. Orang tua harus mengingatkan anak-anak mereka bahwa idolaisasi generasi muda harus diarahkan sedemikian rupa sehingga mereka tidak terjebak pada pendewaan. Para artis adalah manusia biasa yang menjadi “orang besar” karena menjadi bagian dari sistem marketing industri kapitalis. Bukan karena kebaikan, keintelektualan dan kebajikan perilaku mereka. SUMBER:afatih

Minggu, 09 Mei 2010

MENJUAL KETENARAN MIYABI (MARIA OZAWA)

Tanpa Adegan Vulgar dari Maria Ozawa


Film Menculik Miyabi akhirnya resmi di lempar ke pasaran pada 6 Mei 2010. Yang memicu kontroversi adalah keterlibatan bintang film porno Jepang Miyabi atau Maria Ozawa, film produksi Maxima Pictures ini ternyata tak seheboh yang dibayangkan. Miyabi atau Maria Ozawa hanya tampil 20 menit di awal cerita dan sesekali di bagian tengah, begitu pula di akhir cerita.

Jangan harap dalam film ini menemui Maria Ozawa tampil vulgar atau berani dalam judul Menculik Miyabi. Jika di cermati film Menculik Miyabi jauh lebih panas film Tiran (Mati di Ranjang) yang penuh adegan seronok.
Ada alasan mengapa Ody Mulya Hidayat sebagai produser berani melibatkan Maria Ozawa, ternyata nama besar Miyabi. Dengan alasan anjloknya perfilman Nasional, maka dengan mengajak Miyabi diharapkan bisa meningkatkan lagi minat penonton untuk dating ke bioskop. (sumber Jawa Pos, 7 Mei 2010)

Rabu, 31 Maret 2010

Negeri Para Penjahat dan Koruptor

Hidup di Indonesia ini sepertinya sudah tidak ada lagi keberkahannya. Hidup penuh dengan kedustaan, kebohongan, kepalsuan, menipu, dan segela bentuk kejahatan dan perilaku yang menyimpang. Sogok dan suap sudah menjadi ‘aqidah’.
Tak ada lagi para penegak hukum yang tak pernah ‘menelan’ sogok dan suap. Sepertinya tidak ada setitikpun harapan yang dapat diharapkan bagi masa depan Indonesia. Seakan semua manusia bergerak ke arah perbuatan yang nista itu.

Belum usai kasus Bank Century, yang diputuskan DPR, dan sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya, dan mungkin dibiarkan, tanpa ada langkah-langkah konkrit, khususnya terhadap para penanggung jawab yang telah menggelontorkan dana bailout kepada Bank Century Rp 6,7 triliun, sekarang semua orang membicarakan sosok Gayus Tambunan, yang hanya golongan III A dari pegawai Dirjen Pajak, menjadi seorang milyarder, yang kekayaannya sangat fantastis, dan yang diungkap dari hasil korupsi/sogokan mencapai Rp 25 miliar. (berita Republika,30/3/2009, jumlahnya Rp 28 miliar)
Lalu, ada yang membuat rekaan analisis, bila pegawai pajak jumlahnya 32.000, seandainya yang bermental seperti Gayus Tambunan 10 persen saja, maka 3200 dikalikan Rp 25 milyar, hasilnya sudah Rp 80 triliun. Bagaimana seandainya yang bermental seperti Gayus Tambunan itu, misalnya 90 persen, maka 28.000 dikalikan Rp 25 miliar, maka hasilnya mencapai 720 triliun. Sungguh luar biasa.

Inilah kisah negeri yang dihuni para penjahat, koruptor, tukang tipu, tukang sogok dan suap, para maling uang negara, dan semuanya tak ada yang merasa malu sedikitpun, di raut wajah mereka. Para koruptor dan maling uang negara, dan tukang sogok, ketika di pengadilan tak sedikitpun ada rasa penyesalan mereka, dan wajah mereka tetap ceria, dan menebar senyum ke mana-mana, dan wajah mereka tegas-tegas menatap kamera saat bertemu dengan para wartawan.
Negeri ini benar-benar aneh. Negeri yang para birokrat dan pejabat serta penguasanya sangat aneh dan ajaib. Mereka mempunyai prinsip, watak orang Indonesia itu, suka ‘pelupa’. Jadi, kalau mereka korup, maling uang negara, menerima sogok dan suap, lantas kasusnya dibawa ke pengadilan, prinsipnya pasti rakyat akan lupa, tak akan ingat lagi peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Maka mereka mempunyai hobi 'menilep' uang negara, dan menerima sogok dan suap.
Lihat saja kasus pemilihan deputi senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Gultom, yang sangat menyesakkan dada, ada anggota dewan dari PDIP, Golkar, PPP, dan Fraksi TNI/Polri, yang menerima uang 'balas budi' nilainya bermilyar-milyar, dan dijelaskan dengan gamblang dan terang benderang. Tapi, sampai sekarang yang ditekuk di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) hanya yang menerima travel cheque, tapi yang menyogok, masih dapat tertawa-tawa di rumahnya.
Sesudah mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, membuat ‘nyanyian’ tentang Gayus Tambunan tentang raibnya uang Rp 25 miliar yang raib, seakan-akan petir disiang bolong, dan semuanya menjadi ‘kiamat’, tapi itu hanya sebentar saja. Karena mereka yang sudah mendarah daging dengan kejahatan, pasti mereka tak akan pernah jera dengan berita dan siaran di media, siang dan malam. Bahkan tak segan-segan mereka berani membela diri.
Buktinya tak akan ada pengadilan yang menjatuhkan hukuman berat bagi mereka yang telah melakukan kejahatan, yang berkaitan dengan korupsi, sogok, suap, dan maling uang negara. Kasus yang paling spektakuler dalam sejarah bangsa ini, yaitu kasus BLBI yang menghabiskan Rp 650 triliun, dan tidak ada yang dihukum berat, dan hanya beberapa gelintir orang. Disusul kasus bail out Bank Century Rp 6,7 triliun, sepertinya kasus ini akan berlalu bersamaan dengan waktu.
Para pejabat dan penagung jawab dibidang penegakkan hukum, hanya sibuk membuat pernyataan di media eletronik dan media cetak. Tidak ada tindakan yang konkrit dan nyata terhadap mereka. Para penjahat itu, tak ada yang jera, karena mereka sudah tahu hukumannya, dan hukumannya itu dapat diatur, seperti yang dilakukan Gayus Tambunan yang di vonis bebas oleh pengadilan. Untuk apa takut berbuat kejahatan, dan melakukan korupsi serta maling uang negara, faktanya tak akan ada hukuman yang berarti.
Denny Indrayana yang menjadi sekretaris Satgas Pemberantasan Makelar Kasus, hanya setiap malam ada di TV, dan menjadi seakan ‘bintang film’, dalam sebuah film yang bernama Gayus Tambunan. Betapa absurdnya kehidupan para pejabat di negeri ini, buktinya, Gayus Tambunan, sebelumnya sudah bertemu dengan orang-orang Satgas Pemberantas Makelar Kasus, seperti Deny Indrayana dan lainnya, tapi mengapa masih dapat pergi meninggalkan Indonesia, dan tidak ditangkap serta di tahan? Sesudah pergi dari Indonesia baru keluar dari Polri, tindakan pencekalan. Inilah yang menjadi sebuah bukti ketidak seriuasan para pejabat penegak hukum di Indonesia dalam menangani kasus korupsi.
Dari kasus Gayus Tambunan ini terungkap seluruh aparat penegak hukum terlibat, polisi, jaksa, , aparat pajak, dan aparat penegak hukum lainnya, secara sistemik terlibat dalam terlibat dalam kasus ini. Ini hanyalah salah satu kasus telah merembet ke semua institusi penegak hukum, dan lembaga lainnya.
Denny Indrayana selaku sekretaris Satgas Mafkelar Kasus, mengusulkan agar dilakukan pembuktian terbalik. Tapi, ada yang memberikan komentar, ketika berlangsung diskusi di TV swasta di Jakarta, presenternya mengomentari gagasan Denny, kalau itu dilakukan adanya pembuktian terbalik terkait dengan kekayaan pajabat, maka Indonesia akan bubar. Tidak ada penjabat yang dapat kalis, dari kasus sogok, suap, dan maling uang negara. Salah bukktinya Gayus Tambunan yang hanya golongan III A, faktanya dapat menjadi milyader. Bagaimana pejabat yang lebih tinggi?
Menkeu Sri Mulyani, sering mendapatkan pujian setinggi langit, bahwa berhasil melakukan reformasi birokrasi Depkeu, tapi dengan Gayus Tambunan, sebenarnya reformasi apa yang dikatakan berhasil oleh Menteri keuangan itu? Kenyataannya menjadi 'abal', walaupun gajinya para pegawai pajak sudah dinaikkan, tak menutup tindakan korup mereka.
Gayus Tambunan hanyalah golongan III A dari pegawai Dirjen Pajak, lalu pejabat-pejabat lainnya bagaimana? Bagaimanan kalau dilakukan pembuktian terbalik atas segala kekayaan yang mereka miliki itu? Dari mana sumbernya? Apakah mereka yang menjabat sebagai birokrat dan penjabat dapat mempertanggungjawabkan harta kekayaan mereka?
Salah seorang mantan Dirjen Pajak, yang sekarang menjadi pejabat di BPK, memiliki kekayaan yang bermilyar-milyar, dan berdasarkan pengakuannya, sebagian kekayaan yang dimilikinya berasal dari hibah. Pantaslah kalau Indonesia tidak pernah naik peringkatnya sebagai negara paling korup di muka bumi ini. Wallahu’alam.(diunduh dari: eramuslim)

Senin, 29 Maret 2010

Jenderal Nasution : Menulis Buku yang Dibaca Militer AS


Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas menarik pelajaran kedua. Rakyat perlu mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini makin matang setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949).
Nggak heran, Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Gaya perang inilah yang kemudian dipopulerkan oleh Jenderal Sudirman. Dan tahukah Anda, Ho Chi Minh, Pemimpin Besar Vietnam Utara ternyata belajar menggunakan taktik gerilya dari bukunya Abdul Haris Nasution yang fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya ini menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.


Meski tentara AS telah mengembangkan persenjataan yang sangat canggih (penggunaan rudal air-to-air adalah yang pertama kali di dunia digunakan dalam suatu peperangan), tetap aja mereka tak berdaya menghadapi taktik gerilya yang diterapkan NVA dan VC. Gara-gara taktik gerilya itu, AS harus mengeluarkan dana perang yang sangat besar untuk mendukung tentara AS di Vietnam. Dan itu menimbulkan protes keras di dalam negeri sendiri. Gelombang protes silih berganti menuntut pemerintah menarik pasukan AS dari Vietnam. Perang yang berlangsung selama 18 tahun yang merupakan perang terlama yang pernah dialami oleh AS.
Sekalipun hidup dengan perjuangan berliku, toh Tuhan adil. Menjelang akhir hayatnya, Pak Nas diberi penghargaan sebagai Jenderal Besar. Sebuah gelar yang memang layak disandang seorang sekelas Pak Nas. Namun ajal tak bisa dicegah. Tubuh renta Jenderal itu pun menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Gatot Subroto, 5 September 2000. Ia meninggal tanpa kemewahan. Bahkan rumahnya pun tetap terlihat kusam, tak semegah rumah para Jenderal besar di masa Orde Baru. Meski demikian, nilai-nilai luhurnya bisa kita petik.

Rabu, 24 Februari 2010

Komnas Anak: Ada 36 Kasus Kejahatan Anak & Remaja Dari Facebook



Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mendapatkan 36 laporan terkait kasus anak dan remaja yang menjadi korban kejahatan lewat situs jejaring Facebook sepanjang Januari hingga Februari 2010.

"Untuk penculikan anak, kami mencatat ada tujuh kasus yang dilaporkan," kata Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait dalam seminar internet sehat 'Antisipasi Penyalahgunaan Situs Jejaring sosial' di FX Plaza Jakarta, Selasa (23/2/2010).


Angka laporan soal kasus kejahatan anak di Facebook yang diterima Komnas Anak mungkin hanya menggambarkan sebagian kecil saja. Angka sebenarnya mungkin bisa lebih besar lagi.

Menurut Arist, laporan tersebut menunjukkan modus-modus yang berawal dari Facebook. Tak hanya perdagangan anak, tapi anak juga bisa menjadi korban pemerkosaan.

Belajar dari kasus ini, Arist menilai, pesatnya kemajuan teknologi harus dipelajari dengan baik untuk mengantisipasi kejahatan lewat internet. Di situ, orang tua punya peranan penting untuk mengantisipasi.

"Orang tua harus mengubah pendekatan dari disiplin otoriter menjadi pendekatan personal kekeluargaan," kata dia.

Menurutnya, ada beberapa benteng yang dapat menangkal bahaya Facebook. Keluarga, lingkungan sosial, dan terakhir negara. Dalam keluarga, seorang ibu memegang peranan penting.

"Kalau anak tak mau lagi curhat ke keluarga dan lebih memilih curhat ke facebook, itu artinya kita dalam bahaya," tandas Arist. (detik)

Sabtu, 16 Januari 2010