MNLF Siap Bantu RI
Bebaskan Sandera Abu Sayyaf?
![]() |
MNLF: Pejuang Bangsa Moro |
Sebuah kabar mengejutkan datang dari Front Pembebasan Nasional Moro
(MNLF). Kelompok pemberontak yang berkuasa di selatan Filipina itu bersedia
terlibat pembebasan sandera Abu Sayyaf. Padahal, kelompok tersebut merupakan
induk dari rangkaian pemberontakan yang dilakukan minoritas Muslim di Moro dan
sekitarnya. Kesediaan MNLF itu disampaikan Ketua Kelompok Advokasi Moro Samsula J
Adju. Dia mengatakan pihaknya fokus melobi Abu Sayyaf supaya sandera asal
Indonesia dibebaskan tanpa harus membayar tebusan ataupun dilukai. Apalagi,
pejuang Moro mengenal beberapa pentolan militan di selatan Filipina, sehingga
komunikasi nonformal diandaikan lebih mudah. "Kami siap terlibat dalam keseluruhan proses pembebasan
sandera," ujarnya seperti dilansir Inquirer, Minggu (24/4).
MNLF merupakan gerakan separatis Muslim Moro untuk melepaskan diri
dari pemerintahan Filipina. Mereka menggunakan taktik gerilya dan kekerasan
untuk mendapatkan tujuannya, yakni mendirikan negara Islam.
Moro berasal dari etnis Mindanao yang menempati bagian selatan
kepulauan Filipina. Kelompok ini memulai pemberontakannya sejak 1973 di masa
pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos.
MNLF membentuk pasukan perlawanan dengan sangat terorganisir, yang
dikenal dengan nama Angkatan Bersenjata Bangsa Moro, dengan 30 ribu orang yang
bergabung dan menjadi terkuat di 1970an.
Pada 1975, Marcos menyebut keluhan perekonomian sebagai alasan untuk
menyerang pemilik tanah yang notabene dikuasai kaum Kristen. NMLF juga pernah
menolak mentah-mentah tawaran otonomi dari pemerintah dan terus berjuang untuk
berpisah dari pemerintahan Filipina.
Namun, tindakan boikot yang dilakukan MNLF telah memberikan kontrol
legislatif terhadap Gerakan Rakyat Nasional. Organisasi ini secara perlahan
melemah dengan pelbagai perpecahan hingga membentuk faksi-faksi, yang membela
kelompok ini menjadi Front Pembebasan Islam Moro (MILF) and Organisasi
Pembebasan Bangsa Moro. Pada tahun 1981, pemerintah Filipina menggelar operasi penegakan hukum,
kondisi itu membuat aktivitas gerilya kembali meningkat. Pada Februari 1981,
MNLF menyerbu pasukan pemerintah dan membunuh lebih dari 120 pasukan. Bersamaan
dengan itu, mereka juga menculik pastur Katolik Roma, orang asing dan lainnya
untuk dijadikan sandera dengan tebusan.
Lima tahun kemudian, Marcos digulingkan secara paksa. Presiden baru,
Corazon Aquino dan pimpinan MNLF Nur Misuari sepakat untuk melakukan gencatan
senjata. Baru pada Januari 1987 setuju untuk menurunkan tuntutannya sebagai
negara merdeka dan menerima sistem otonomi. MILF menolak kesepakatan itu, alhasil perundingan sempat berhenti.
Pada 1988 MNLF kembali melanjutkan gencatan senjata. Namun, negosiasi yang
tertunda membuat pertempuran kembali terjadi hingga mendorong pemerintah untuk
menggelar referendum, hasilnya seluruh warga setuju untuk menerima sistem
otonomi bagi Muslim Mindanao pada 1990.
Keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian dengan Filipina membuat
MNLF berutang budi pada pemerintah Indonesia yang pada 1996 menjadi fasilitator
proses perundingan damai antara kelompok separatis itu dengan utusan Manila.
Berkat perundingan tersebut, MNLF kini mengelola kawasan otonomi khusus di sisi
selatan Filipina yang penduduknya mayoritas Islam.
Pemimpin MNLF, Nur Misuari, juga dikenal dekat dengan petinggi Abu
Sayyaf. Salah satu komandan Abu Sayyaf yang diduga mengotaki penculikan ABK
asal Indonesia adalah Alhabsi Misaya. Dua dekade lalu, Misaya pernah menjadi
komandan pasukan tempur MNLF. Setelah bertahun-tahun bertempur, Misuari terpilih sebagai gubernur
otonomi khusus. Namun, bentrok antara MNLF dan pemerintah masih terus
berlangsung. Selama tiga dekade, setidaknya 100 ribu orang telah tewas pelbagai
pertempuran antara kedua belah pihak.
sumber: merdeka