Kamis, 08 Februari 2018

Wajah Pendidikan

Pendidik Menilai Diri Sendiri
oleh: Ahmad Amin Udin, S.Pd, S.ST

     Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan "Jangan hanya bicara kesejahteraan naik, semua tepuk tangan. Anda juga harus beri mutu lebih baik ke lulusan, sekolah lebih baik." Kalimat tersebut memiliki makna tuntutan yang dalam bagi profesi seorang guru, di balik kalimat tersebut memiliki makna bahwa pemerintah sudah cukup dalam memberikan kesejahteraan untuk guru, sekarang mana hasilnya?
    Tidak ada yang salah dengan apa yang diugkapkan oleh wakil persiden kita, hal tersebut murni sebuah kalimat terucap dari seorang negarawan yang menilai pendidikan Indonesia saat ini. Pemerintah menggelontorkan dana yang luar biasa hingga menembus empat ratus terliun rupiah. Miris juga bila total dana untuk pendidikan tembus hingga terliunan tapi yang di dapat pendidikan di Indonesia biasa-biasa saja.
    Membandingkan kemajuan pendidikan Indonesia pun ternyata masih kurang menggembirakan, di balik pelajar-pelajar Indonesia tembus memenangkan olimpiade-olimpiade internasional seakan-akan tidak ada harganya dan tidak dapat mendongkrak gambaran kemajuan pendidikan di Indonesia.

Pendidikan Ribut Kurikulum
    Bukan berarti pendidikan tidak memiliki arah, jelas pendidikan memiliki arah yang digariskan dalam sebuah kurikulum. Indonesia masih berkutat pada masalah kurikulumnya sendiri, selama ini pendidikan Indonesia masih mencari celah bagaimana merubah image belajar yang menciptakan generasi memiliki karakter ideal menurut kurikulum dan ironisnya waktu belajar mau pun mata pelajaran di Indonesia sangat beragam jumlahnya sehingga bila diamati teralu melelahkan untuk dipelajari.
    Harapan pendidikan terlalu sempurna untuk diterapkan, antara tahap pendidikan usia dini dengan pendidikan sekolah dasar memiliki dua sisi kuat untuk saling mendukung dan mendorong terciptanya suasana anak mengenal cahaya terang pengetahuan. Nyatanya yang terjadi, kita pendidik tidak mampu memberikan rasa nyaman pada anak, kompetisi masuk ke sekolah dasar sudah harus dapat membaca, menulis dan berhitung. Meski pun aturan tidak memperkenankan anak usia dini harus di tes bisa calistung untuk masuk ke sekolah dasar (SD), nyatanya perangkat untuk mendukung jaminan anak bisa masuk ke SD tanpa harus tes dulu dan diprioritaskan pada kedekatan rumah ternyata hanyalah isapan jempol.
    Di sinilah muncul kesempurnaan kurikulum kita, mungkin untuk orang tua yang memiliki putra/putri masih duduk sekolah dasar kelas pertama merasakan kaget tatkala di semester satu siswa sudah menghadapi ulangan semester. Logikanya mana mungkin ketika anak ini masuk tidak dapat calistung sudah harus mengikuti ulangan semester, bisa dari mana? Cukupkah dalam satu semester siswa harus bisa membaca, menulis, berhitung?
    Satu saat, seorang teman baru datang dari negeri seberang dan membawa puteranya yang baru duduk di SD kelas empat. Saya pun ingin membandingkan pendidikan putra teman saya dengan teman-teman sebaya yang ada di Indonesia. Ternyata, anak teman saya ini masih belum dan sama sekali belum mengerti dengan hitungan perkalian di negaranya sana masih diajarkan penambahan dan pengurangan, hal ini tergambar ketika disodori dengan materi matematika kelas empat di Indonesia ternyata masih belum ada apa-apanya.

Menghargai Orang Lain
    Menarik untuk di ungkap antara pendidikan di negara kita dengan negara luar, salah satunya karakter menghargai beda pendapat. Suatu saat putra teman mendapatkan tugas untuk membawa buku yang di sayangi, buku yang selalu dibaca setiap saat dan setiap waktu. Situasi masih begitu sensitif dengan isu terorisme sang anak tanpa memberitahukan orang tua dan sesuai dengan tugasnya putra teman saya membawa kitab suci Al Qur'an.
    Setiba di sekolah semua siswa menampakkan buku yang di sayangi, ada yang membawa ensiklopedi, novel, dan sebagainya. Tiba giliran putra teman membawa kitab suci, karena tidak terbiasa melihat kitab suci dan memang tidak pernah mengenal bagaimana bentuk kitab suci umat Islam siswa menjadi heran, ditengah keheranan siswa sekolah dasar tersebut karakter guru bijak di butuhkan, guru tidak memarahi dan tidak menyalahkan apa yang di bawa siswa muslim di kelas tersebut bahkan guru menjadi nara sumber apa itu Al Qur'an untuk menutup rasa penasaran, guru pun mempersilahkan membaca Al Qur'an di hadapan teman-teman sekelas.
    Suatu saat pula, ada seorang siswa di sekolah membawa sebuah biji-bijian salah satu buah yang jatuh. Saat di kelas seorang murid membuat mainan biji tersebut di dalam kelas, di dapati sang murid membawa biji-bijian guru pun tidak marah bahkan menanyakan dari mana asal biji tersebut di temukan. Selanjutnya guru menerangkan bagaimana sebuah biji tera kita? Akankah kita marah kepada siswa? Saya yakin kita akan memarahi siswa tersebut karena dianggap menngganggu jam pelajaran yang berlangsung.
    Maaf, barangkali terlalu sensitif di bahas ketika kita sebagai guru harus dapat menghargai orang lain. Kalau kita dapat menghargai orang lain pada siswa sekali pun kejadian saling menyalahkan antara guru, siswa atau pun orang tua tidak akan terjadi. Intinya kita dapat memenejemen kelas menjadi kelas yang demokratis mestinya tidak akan membawa masalah. Bisa saja siswa tertidur di kelas, sibuk sendiri di kelas, mungkin ketika berangkat ada sesuatu penyebabnya hingga masalah tersebut terbawa sampai ke sekolah. Emosi tidak stabil dapat menyulut rasa yang seharusnya bisa menghargai orang lain ternyata tidak dapat menghargai orang lain.
    Pelajaran yang dapat kita petik dari cerita seorang teman tentang pendidikan putranya di negeri luar merupakan sedikit sumbangan bagaimana posisi kita sebagai seorang guru, bisa saja kita memodifikasi mengajar kita dengan lebih ringan, bersahabat, dan toleran.
    

Tidak ada komentar: