Minggu, 16 Oktober 2016

TPP 2016



Over Budgetting, Hukumanya Untuk Guru
Oleh: Ahmad Amin Udin, S.Pd, S.ST

http://www.binary.com/?id=salamcell
Banyak yang bertanya-tanya tentang over budgeting anggaran untuk TPP (Tunjangan Profesi Pendidik), anggaran sebesar Rp. 23,3 Triliun bukanlah jumlah yang sedikit. Jumlah yang luar biasa fantastis mengundang penilaian negative bagi kalangan pendidik, bagaimana tidak tatkala guru harus menunggu pencairan TPP yang selalu tertunda dengan berbagai alasan ternyata ada informasi kelebihan anggaran yang ditemukan oleh menkeu jumlahnya pun luar biasa.

Kenyataan di lapangan begitu ketat sekali, dengan system aplikasi DAPODIK data tenaga kependidikan pun harus di update tiga bulan sekali terkadang guru di vonis tidak dapat menerima TPP hanya karena masalah teknis salah ekspor dari operator sekolah atau pun operator dinas pendidikan bahkan kasus ada seorang guru yang belum pensiun ternyata menjadi pensiun padahal operator sekolah tidak melakukan perubahan apapun atau kasus guru swasta yang dapat TPP ternyata tidak dapat TPP hanya karena guru tersebut lulus PNS, lalu dimana dana TPP guru tersebut? Melihat kenyataan seperti ini patutlah pelaku mulai dari operator hingga pengusul anggaran melakukan klarifikasi dengan memperjelas bagaimana system laporan pengusulan hingga cairnya TPP hal ini untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman di tingkat satuan pendidikan. Menurut seorang guru yang TPP nya pernah tidak cair di tingkat pusat sebetulnya tidak ada masalah dengan SK TPP semuanya turun sesuai anggaran yang diusulkan namun pegawai anggaran di tingkat pusat juga merasa heran kenapa di tingkat daerah dana TPP selalu mengalami masalah tidak dapat dicairkan oleh yang berhak menerima.

Inilah fakta carut marutnya layanan kepegawaian yang tergambar pada pencairan dana TPP yang jelas tidak mungkin menuduh bersalah kemudian memvonis salah, pemegang sertifikat pendidik tidak mungkin menuduh seperti itu, guru profesional hanya membutuhkan bagaimana administrasi dapat lancar tanpa harus mengganggu aktivitas guru dalam mencerdaskan bangsa, dengan banyaknya administrasi guru seperti DAPODIK, PKG membuat guru menjadi pribadi yang selalu termakan rasa was-was dan tidak nyaman ketika mengajar. Rasa was-was semakin bertambah tatkala Menteri Keuangan memutuskan untuk menunda pengucuran dana transfer pada APBNP 2016 sebesar Rp. 72,9 triliun, akhirnya guru pun menanti kepastian lagi.

Guru bukan manusia super atau konglomerat dengan kekayaan luar biasa, guru sama saja dengan PNS lainnya. Penundaan pencairan TPP sudah sering terjadi dan jelas menunda semua rencana mulai dari sekolah lagi, beli laptop, bayar lunas sekolah anak hingga membayar hutang sekali pun. Sungguh tidak elok rasanya tatkala imbas dari salah hitung anggaran juga dilimpahkan pada penerima TPP, ini artinya sama saja guru menerima hukuman dari kesalahan yang tidak di lakukan.

Apresiasi untuk Menteri Keuangan Sri Mulyani patut di berikan dengan ditemukanya over budgeting tunjangan profesi guru, guru pun harus sadar dan bersyukur ini bagian dari rencana pemerintah melakukan penghematan yang bertujuan mencegah melebarnya defisit dana anggaran APBN-P 2016 serta sebagai peringatan bagi perencana anggaran untuk lebih baik dalam menganggarkan TPP sehingga tidak menyebabkan beban berat yang luar biasa bagi pemerintah.

Mulai dari organisasi profesi guru hingga pengamat sudah banyak memberikan masukan terkait dengan TPP yang terakhir adalah sebuah ide dari Bapak Muhadjir sebagai Mendikbud mengisyaratkan mengganti TPP dengan resonansi financial. Termasuk kemungkinan dengan membayarkan TPP setiap bulannya seperti yang sudah di jalankan oleh sekolah di bawah naungan Departemen Agama dan juga dosen. Solusi sangat banyak di negeri ini tergantung bagaimana penentu kebijakan mengambil sikap yang benar-benar memperhatikan nasib guru, guru bukanlah manusia super, guru hanyalah manusia biasa yang salah satu harapannya dapat menyekolahkan putra putrinya hingga ke jenjang lebih tinggi, sungguh ironis jika guru yang di cap pahlawan tanpa tanda jasa bernasib buruk tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Tidak ada komentar: