Drama Terbebasnya Sandera
Abu Sayyaf di Filipina
![]() |
10 WNI korban sandera |
Proses
pembebasan 10 anak buah kapal (WNI) asal Indonesia dari tangan kelompok teroris
Abu Sayyaf menyisakan pertanyaan. Sebab, para korban itu diterbangkan ke
Indonesia menggunakan pesawat milik salah satu tokoh politik di Indonesia.
Kenapa
negara enggak menyiapkan pesawat? Itulah yang harus dipertanyakan, apa
alasannya?," tanya Ray Rangkuti kepada Okezone di Jakarta, Senin
(2/5/2016). Menurutnya,
pemerintah perlu menjelaskan alasan para sandera tersebut diterbangkan tidak
dengan pesawat milik pemerintah. Jika tidak, maka akan muncul berbagai
kecurigaan dari masyarakat.
"Itu
yang harus diberi penjelasan soal kenapa proses penjemputannya tidak dipakai
pesawat milik pemerintah, publik juga perlu tahu agar transparan,"
tukasnya.
Diketahui,
10 WNI tersebut sudah tiba di Jakarta kemarin malam, Minggu 1 Mei 2016. Mereka
kemudian langsung dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk menjalani pemeriksaan
kesehatan.
Wakil Ketua
Komisi I DPR Hanafi Rais mengapresiasi jajaran pemerintah yang berhasil
membebaskan 10 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang disandera oleh
kelompok teroris Abu Sayyaf di Perairan Filipina. Pembebasan
itu sukses dilakukan karena diplomasi multijalur. Artinya, para WNI bisa
kembali ke Tanah Air berkat kerja sama dari berbagai pihak, seperti pemerintah,
aktivis perdamaian hingga kelompok pemuka agama.
"Kemudian
juga tentu kelompok swasta perusahan sendiri yang punya tanggung jawab utama
untuk membebaskan sandera karena itu ABK mereka," ujar Hanafi saat
dihubungi Okezone di Jakarta, Minggu (1/5/2016) malam. Oleh karena
itulah, Hanafi tak mau nantinya ada pihak yang cari panggung dalam kasus ini.
Apalagi nantinya dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
"Kita
ingin mendengar cerita yang sebenarnya bagaimana, karena kita juga tidak ingin
hasil kerja multijalur seolah-olah diklaim secara politik oleh salah satu
pihak. Ini sebaiknya kita apresiasi bersama, semua punya peran, tidak perlu
diklaim," tegasnya. Meski
begitu, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini tak mau mengungkapkan
pihak yang dimaksudnya secara gamblang. "Ya biasalah, ada yang pengen
manggung. Kepada siapapun, ini kan soal nyawa manusia jangan
dipolitisasi," sindirnya.
Salah satu negosiator yang ikut
dalam pemulangan 10 warga negara Indonesia yang disandera oleh perompak di
Filipina pimpinan Abu Sayyaf menganalogikan peristiwa tersebut sebagai
"ulah nakal anggota keluarga."(liputan6) "Intinya ini ada anak nakal dalam satu keluarga. Nah, bagaimana kita
komunikasi dengan itu," kata negosiator Eddy Mulya sebagai Minister
Counsellor, Koordinator Fungsi Politik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia
di Manila, Filipina, saat ditemui di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim
Perdanakusuma, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (2/5/2016).
Ia menekankan bahwa pembebasan 10 WNI tersebut murni atas hasil negosiasi tanpa adanya uang tebusan. "Ini full negosiasi. Ada sahabat saya Pak Baidowi dengan teman-teman mereka yang atur, kita tindak lanjutnya," tutur Eddy. Dia mengungkapkan bahwa pendekatan yang dilakukan lebih kepada hubungan antarpersonal yang sudah terjalin melalui kerjasama pendidikan. Dalam hubungan tersebut ada seseorang yang dituakan dan dihormati bersama sehingga menghasilkan perundingan pembebasan sandera 10 WNI.
Eddy tidak mau menyebut apabila negosiasi yang dilakukan berkaitan dengan adanya utang budi pihak penyandera dengan tim negosiasi yang dipimpin Baidowi. "Kita nggak ada utang budi. Jangan berpikiran negatif. Kita kerja sama sesama umat Islam," jelas dia. Dalam siaran pers yang diterima disebutkan bahwa pembebasan sandera dilakukan atas kerja Tim Kemanusiaan Surya Paloh yang merupakan sinergi gabungan jaringan pendidikan Yayasan Sukma atau Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, pimpinan Ahmad Baidowi.
Namun Eddy mengatakan dirinya tidak bisa menceritakan secara detil tentang proses penyanderaan hingga pembebasan 10 WNI yang merupakan anak buah kapal Brahma-12. Dia juga enggan menjawab pertanyaan apakah motif penyanderaan murni uang tebusan. Sementara, menurut negosiator yang mewakili perusahaan, Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein dirinya bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf sejak 27 Maret 2016. Sejak hari itu, kata Kivlan pihaknya terus melakukan pendekatan atas nama perusahaan PT Patria Maritime Lines. Kivlan juga mendapat bantuan dari pihak lokal di Filipina.
Terutama, kata Kivlan, bantuan itu diberikan oleh Gubernur Sulu Abdusakur Tan II yang merupakan keponakan pimpinan Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari. Bantuan itu sangat berguna karena penculiknya Al Habsyi Misa merupakan mantan supir dan pengawalnya saat menjadi Gubernur Otonomi Muslim in Mindanao atau ARMM pada 1996-2001. "Maka, saya sebagai wakil perusahaan meminta bantuannya untuk membujuk sang penculik WNI, dan berhasil membujuknya," kata Kivlan.
Sementara itu, anggota Badan Intelijen Strategis (Bais) dan intel Filipina mendekati kepala desa, camat, wali kota dan gubernur Sulu untuk membujuk penculik. Mereka juga mengancam akan melakukan serangan militer dan pemboman kepada kelompik militan itu. Dengan negosiasi dan tekanan itu, maka kelompok Abu Sayyaf melepaskan sandera WNI
Ia menekankan bahwa pembebasan 10 WNI tersebut murni atas hasil negosiasi tanpa adanya uang tebusan. "Ini full negosiasi. Ada sahabat saya Pak Baidowi dengan teman-teman mereka yang atur, kita tindak lanjutnya," tutur Eddy. Dia mengungkapkan bahwa pendekatan yang dilakukan lebih kepada hubungan antarpersonal yang sudah terjalin melalui kerjasama pendidikan. Dalam hubungan tersebut ada seseorang yang dituakan dan dihormati bersama sehingga menghasilkan perundingan pembebasan sandera 10 WNI.
Eddy tidak mau menyebut apabila negosiasi yang dilakukan berkaitan dengan adanya utang budi pihak penyandera dengan tim negosiasi yang dipimpin Baidowi. "Kita nggak ada utang budi. Jangan berpikiran negatif. Kita kerja sama sesama umat Islam," jelas dia. Dalam siaran pers yang diterima disebutkan bahwa pembebasan sandera dilakukan atas kerja Tim Kemanusiaan Surya Paloh yang merupakan sinergi gabungan jaringan pendidikan Yayasan Sukma atau Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, pimpinan Ahmad Baidowi.
Namun Eddy mengatakan dirinya tidak bisa menceritakan secara detil tentang proses penyanderaan hingga pembebasan 10 WNI yang merupakan anak buah kapal Brahma-12. Dia juga enggan menjawab pertanyaan apakah motif penyanderaan murni uang tebusan. Sementara, menurut negosiator yang mewakili perusahaan, Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein dirinya bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf sejak 27 Maret 2016. Sejak hari itu, kata Kivlan pihaknya terus melakukan pendekatan atas nama perusahaan PT Patria Maritime Lines. Kivlan juga mendapat bantuan dari pihak lokal di Filipina.
Terutama, kata Kivlan, bantuan itu diberikan oleh Gubernur Sulu Abdusakur Tan II yang merupakan keponakan pimpinan Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari. Bantuan itu sangat berguna karena penculiknya Al Habsyi Misa merupakan mantan supir dan pengawalnya saat menjadi Gubernur Otonomi Muslim in Mindanao atau ARMM pada 1996-2001. "Maka, saya sebagai wakil perusahaan meminta bantuannya untuk membujuk sang penculik WNI, dan berhasil membujuknya," kata Kivlan.
Sementara itu, anggota Badan Intelijen Strategis (Bais) dan intel Filipina mendekati kepala desa, camat, wali kota dan gubernur Sulu untuk membujuk penculik. Mereka juga mengancam akan melakukan serangan militer dan pemboman kepada kelompik militan itu. Dengan negosiasi dan tekanan itu, maka kelompok Abu Sayyaf melepaskan sandera WNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar