Selasa, 08 November 2016

Guru Pembelajar

Mencari Hikmah Dibalik GP
oleh: Ahmad Amin Udin, S.Pd, S.ST

SMP Negeri 2 Banyuwangi: Belajar Menyenangkan
     Begitu digulirkan program guru pembelajar sudah mendapatkan kritikan yang tajam dari  kalangan guru terlebih setelah lengsernya Mendikbud Anies Baswedan seakan-akan semakin jelas bahwa program guru pembelajar hanyalah sebagai pemenuhan proyek saja. Benar tidaknya apa yang berkembang di masyarakat tentulah kita harus menyadari bagaimana pun program dari pemerintah adalah sepenuhnya untuk membantu guru dalam memperbaiki kualitas guru setelah tahu hasil dari UKG. Secara pribadi tidak semua guru tidak setuju hadirnya program guru pembelajar ini, sepenuhnya guru yang berfikiran positif harus mendukung sepenuhnya, mengapa demikian? Karena di balik "susahnya" guru yang ikut program guru pembelajar terselip tujuan memudahkan guru memperbaiki kualitasnya setelah UKG.
     Keluhan dari guru yang mengikuti program tatap muka, daring kombinasi dan daring sangat dirasa "menyusahkan" guru yang mengikutinya sehingga dirasa tiga moda program guru pembelajar di nilai tidak efektif. Tidak efektifnya karena beberapa hal pertama, guru merasa semakin bertambah beban aktivitas yang harus dilakukan selain sibuk mengikuti diantara tiga moda guru pembelajar guru juga harus masih bersibuk ria mengurus siswa. Kedua, di kalangan guru masih muncul adanya temuan ketidak sepahaman antara guru dengan instruktur nasional salah satu contoh adanya ketidak sesuaian bahasan pada guru pembelajar Bahasa Indonesia tentang kalimat utama untuk guru SMA. Ketiga, problem penggunaan media informasi dan teknologi informasi masih menjadi pekerjaan yang harus diselesaikan dulu, pasalnya salah satu gagalnya UKG adalah kurang menguasainya guru pada bidang teknologi informasi. Keempat, website yang tersedia terlalu rumit untuk bisa di pahami oleh guru dengan minim pengalaman penggunaan teknologi informasi terutama bagaimana melakukan penyimpanan data sebelum dilakukan upload data sesuai tuntunan. Dari keempat permasalah ini muncullah tanda-tanda bahwa kegiatan program guru pembelajar tidak efektif.
     Ketidakefektifan dari program guru pembelajar dapat ditutup dengan handalnya seorang instruktur nasional yaitu seorang instruktur nasional yang benar-benar mampu dan teruji kebenarannya di lingkunngan sekolah, terlebih diyakini seorang instruktur nasional telah memenuhi total syarat sangat baik dari empat kompetensi guru yakni profesional, akademik, sosial dan kepribadian. Masih adanya temuan materi yang menjadi masalah pertentangan di tengah-tengah guru dan susahnya guru dalam memahami aplikasi website guru pembelajar merupakan salah satu bentuk alasan seleksi lebih ketat untuk instruktur nasional yang harus bisa lebih menguasai materi mau pun penggunaan media aplikasi website guru pembelajar karena instruktur nasional berada di garda paling depan.
     Masalah ketika guru meninggalkan kelas saat melakukan moda tatap muka dan daring kombinasi kelihatannya jamak terjadi di setiap sekolah, ada satu cara untuk menghindari guru tidak meninggalkan kelas yaitu melakukan dokumentasi pembelajaran tatap muka dengan berbagai bentuk model pembelajaran. Cara seperti ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah membentuk tim belajar dengan mata pelajaran yang serumpun atau memanfaatkan aktivitas MGMP sekolah atau bisa juga dengan melakukan model lesson study. Seperti yang di pahami bahwa lesson study merupakan model pembinaan (pelatihan) profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.
     Guru memiliki gaya mengajar dan metode mengajar yang berbeda-beda masing-masing memiliki karakteristik sendiri, belum tentu guru yang dalam UKG di bawah nilai Kriteria Capaian Minimal (KCM) bukan guru pandai begitu pula sebaliknya. Hasil baik dan buruknya UKG banyak faktor yang melandasinya, masalah pencapaian UKG yang semakin baik jika nilai KCM guru meningkat bukan berarti kualitas gurunya meningkat, hal ini hanyalah satu harapan saja dengan adanya program guru pembelajar diharapkan adanya peningkatan kualitas guru yang secara automatis UKG dapat diperbaiki melalui program guru pembelajar sehingga tetap tujuan dari program guru pembelajar hanyalah untuk memperbaiki nilai UKG yang di bawah nilai KCM.
     Selama ini berbagai bentuk dan pola menilai kinerja guru di lakukan namun hasilnya hanya menuai kegagalan bukannya program penilaian yang salah, namun kriteria pelaksanaan penilaian kinerja guru di tingkat bawah yang masih belum optimal dilaksanakan. Sangat baik kiranya penilaian kompetensi profesional guru di dapat langsung ketika guru mengajar, yang tentunya perlu persiapan dan teknis pelaksanaan serta pendokumentasiannya, terlebih lagi hasil dari penilaian langsung menjadi bahan pertimbangan yang nilainya lebih besar dari penilaian tes tulis.
     Tidaklah benar tatkala ada program perbaikan kinerja guru selalu disertai ancaman pencabutan TPP meskipun hanya isue namun layak diapresiasi, jika benar terjadi tidak salah seorang guru tidak mau menjalankan tugas mengajar 24 jam. Alasannya, daripada kalah hormat karena dianggap tidak profesional lebih baik dan terhormat tidak mengajar 24 jam, itu artinya lebih baik TPP dicabut karena mengajar kurang dari 24 jam daripada dianggap tidak profesional.

Ruang Terbuka Hijau Banyuwangi



Menyayangi RTH Sepenuh Hati
Oleh: Ahmad Amin Udin

RTH Publik
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam pasal 1 angka 31 Undang-Undang No. 26 Tahun 20017 Tentang Penataan Ruang diartikan sebagai area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, mau pun yang sengaja di tanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi Kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, kawasan hijau pemakaman,
RTH bagi masyarakat Banyuwangi khususnya wilayah perkotaannya merupakan satu kebutuhan yang memang harus disediakan oleh pemerintah daerah mengingat dalam perundangan disebutkan wilayah perkotaan setidaknya memiliki 30% dari luas wilayah kota dan RTH publik 20% dari luas wilayah kota. Setidaknya kota Banyuwangi sudah berusaha memenuhi target prosentase ketentuan RTH seperti adanya Taman Sritanjung, RTH Sayu Wiwit, Taman Blambangan serta RTH publik berusaha untuk memenuhi bagaian 20% luas wilayah kota, mari kita lihat kantor-kantor pemerintahan sudah tampil cantik, hijau dan nyaman.

Kwalifikasi dan Fungsi RTH
Bagi masyarakat, dibangunnya fasilitas RTH memiliki azaz manfaat yang luar biasa manfaatnya sehingga terbangunnya RTH harus juga diikuti peran serta masyarakat karena kwalifikasi RTH telah terangkum menjadi satu kesatuan bahwa RTH harus memenuhi beberapa kwalifikasinya sebagai taman kota, hutan kota, sarana rekreasi dalam kota, sarana olah raga, kawasan hijau pemakaman, ruang terbuka hijau yang produktif, kawasan jalur hijau, dan kawasan pekarangan.
Bagi masyarakat di lingkungan perkotaan bentuk kwalifikasi RTH memiliki fungsi sebagai kawasan hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagaian dari fungsi RTH lainnya.
Tidaklah asing bagi masyarakat Banyuwangi karena begitu familier dengan fungsi RTH misalkan di area RTH Taman Blambangan yang dipenuhi dengan kelengkapan alat olah raga serta tempat aktivitas untuk jogging, bermain bola basket, bola volley, serta area bermain roller scooting. Taman Sritanjung juga dilengkapi sarana untuk memudahkan penyandang cacat memasuki kawasan taman, area bermain, dan belajar. RTH Sayu Wiwit merupakan RTH yang berada di depan pusat pemerintahan dilengkapi fasilitas wifi yang dapat digunakan sebagai sarana belajar dan mencari informasi.

Berubahnya Fungsi RTH
Sudah pasti peranan RTH begitu vital bagi nadi kehidupan di perkotaan, kehadirannya memiliki peranan penting yang tidak harus dinikmati oleh anak-anak dan remaja saja namun kehadirannya harus juga dapat dinikmati oleh kalangan penyandang cacat dan juga orang tua usia lanjut. Sambutan awal yang menggembirakan dan perbaikan layanan fasilitas yang terus ditingkatkan ternyata masih belum berimbang dengan bergesernya pemanfaatan RTH. Kegiatan-kegiatan masyarakat perkotaan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan mengakibatkan perubahan yang menurunkan kualitas lingkungan, sedikit pertanyaan apakah turunnya kualitas RTH sebagai akibat dari setiap masyarakat kota tidak memperhatikan atau mengetahui fungsi RTH.
Apa yang dimaksud dari bergesernya pemanfaatan RTH lebih mengarah pada ketidaknyamanan lingkungan sekitar, masalahnya dari beberapa RTH yang telah dibangun pemerintah daerah berada di dekat perkampungan penduduk misalkan RTH Sayu Wiwit atau pun juga RTH lainnya yang secara geografis berdekatan dengan perkampungan seperti RTH Maron Genteng. Pada awalnya sebelum adanya RTH Sayu Wiwit lokasi depan TMP merupakan lokasi pedagang kaki lima, aktifitas yang ada hanyalah kegiatan jual beli kuliner saja sekali tutup sudah tidak ada aktivitas kegiatan masyarakat kota lagi.
Berubahnya tata ruang perkotaan yang merubah wajah TMP menjadi kawasan RTH telah merubah bentuk fisiknya hingga menjadi ruang terbuka hijau sampai saat ini. Fasilitas pelengkap di RTH Sayu Wiwit ternyata menjadi salah satu RTH yang sering dikunjungi kalangan muda dan ternyata berakibat pada berubahnya fungsi RTH Sayu Wiwit dari fungsi awalnya. Saat ini boleh dibilang RTH Sayu Wiwit mengalami perubahan fungsi dari RTH yang sesungguhnya menjadi area nongkrong, trek-trekan yang hampir setiap malam sehingga menjadi sumber pengganggu bagi lingkungan masyarakat sekitar.

Menanyakan Peran Stakeholder
Bergesernya perubahan fungsi dari sebuah ruang terbuka hijau haruslah disadari oleh stakeholder mulai dari pemerintaha daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta masyarakat yang langsung berhadapan dengan berbagai aktivitas masyarakat pengguna, jangan sampai begitu mudahnya membangun kawasan hijau namun melupakan kemungkinan kemungkinan perubahan fungsi setelah dibangunnya kawasan hijau.
Menjaga keutuhan dari fungsi RTH tidak akan terwujud selama adanya kekurangsadaran masyarakat umum dengan hadirnya RTH. Jika di kota Jakarta musuh utamanya adalah penggusuran dan bergesernya tata ruang yang memakan ruang terbuka hijau justru kota kecil seperti Banyuwangi musuh utamanya adalah prilaku masyarakatnya sendiri. Jika masyarakat kota Jakarta berjuang mewujudkan dihargainya pejalan kaki dengan tersedianya trotoar dan taman bermain, seharusnya Banyuwangi berjuang untuk bagaimana menjaga RTH yang aman, hijau dan lestari. Jika di Jakarta antusias sekali pejuang lembaga swadaya masyarakat (LSM) memperjuangkan tentang teraturnya tata ruang kota, harusnya Banyuwangi pun muncul LSM yang berjuang untuk lingkungan ruang terbuka hijau.

Kesimpulan
Kebutuhan masyarakat kota Banyuwangi pada ruang terbuka hijau merupakan kebutuhan vital mengingat fungsi RTH itu sendiri. Keberadaan RTH bisa saja bergeser dari fungsi semula karena ketidaksadaran dari berbagai kalangan mulai dari generasi mudanya, berubahnya fungsi RTH perlu disadari sejak dini sebagai upaya tindakan preventif dengan menyadari adanya nadi perubahan lebih baik sejak dini melakukan tindakan preventif yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah namun juga peran serta LSM dan masyarakat yang langsung bersentuhan langsung.