Kamis, 12 Mei 2016

GUBERNUR SULU DAN MISUARI

Pembebasan Sandera Abu Sayyaf
Tanpa Tebusan

Gubernur Sulu
     Gubernur Sulu, Filipina, Abdusakur “Totoh” Tan, mengatakan, pembebasan empat warga negara Indonesia (WNI) dari Abu Sayyaf dengan bantuan Kepala MNLF; Nur Misuari, dilakukan tanpa membayar uang tebusan. Tan menerima empat  WNI itu di rumahnya setelah dibebaskan kelompok Abu Sayyaf hari Rabu. Empat WNI itu adalah Mochammad Ariyanto Mijnan, Lorens Peter, Dede Irfan Hilmi, dan Samsir. Menurut Tan, Kepala Moro National Liberation Front (MNLF), Nur Misuari, untuk kedua kalinya berjasa dalam pembebasan WNI dari penyanderaan Abu Sayyaf. Dalam pembebasan empat WNI, Misuari bekerjasama dengan mantan jenderal Angkatan Darat Indonesia; Kivlan Zein.
      Empat WNI itu dibebaskan Abu Sayyaf di Kota Indanan. Mereka diculik Abu Sayyaf pada bulan lalu di laut lepas di Provinsi Tawi-Tawi, dekat perbatasan Sabah, sebelum akhirnya dibawa ke Provinsi Sulu.
”Itu persuasi MNLF dan upaya bersama dari militer, polisi, dan pemerintah daerah serta provinsi,” kata Tan yang menjadi Ketua Komite Manajemen Krisis Lokal, kepada The Manila Times.  ”Tidak ada uang tebusan yang dibayarkan untuk kebebasan orang Indonesia,” katanya lagi.  Tidak ada satu pun WNI yang berbicara kepada media. Sementara itu, Kivlan Zein memuji Misuari, Gubernur Tan dan Pemerintah Filipina atas peran mereka dalam mengamankan pembebasan empat WNI.  ”Kami berterima kasih saudara Nur, MNLF, Gubernur Tan dan Pemerintah Filipina serta semua orang yang membantu dalam mengamankan pembebasan para sandera,” katanya.
    Tan mengatakan empat WNI dibawa ke rumah sakit militer di Kota Jolo untuk menjalani pemeriksaan medis rutin sebelum diserahkan kepada para pejabat Pemerintah Indonesia di Jakarta.  Bulan lalu, Misuari juga berjasa membebaskan 10 WNI yang disandera oleh Abu Sayyaf.  Sampai saat ini, Abu Sayyaf—yang telah bersumpah setia kepada ISIS—masih menyandera empat warga  Malaysia, seorang pria Kanada, manajer resort asal Norwegia, seorang fotografer Belanda, dan pemburu harta karun asal Jepang di Filipina selatan. (sindonews)

Nur Misuari
     Bebasnya 10 warga negara Indonesia (WNI) yang disandera Abu Sayyaf beberapa pekan lalu dan empat WNI pada Rabu kemarin tak lepas dari peran penting, kepala Moro National Liberation Front (MNLF), Nur Misuari.Misuari, menurut pihak MNLF, turun tangan langsung melakukan negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf. Negosiasi yang dilakukan tanpa terdeteksi militer Filipina itu disebut-sebut bagian dari operasi senyap yang melibatkan mantan jenderal Angkatan Darat Indonesia, Kivlan Zein.
     Sosok Misuari bukan negosiator dan pejuang MNLF biasa. Dari data latar belakangnya, Misuari merupakan keturunan panglima dari Kesultanan Sulu. Dia pernah menjadi dosen di sebuah universitas ternama di Filipina sebelum terjun ke politik melalui MNLF. Nur Misuari lahir di Tapul pada tanggal 3 Maret 1939. Dia anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya adalah Saliddain Misuari, yang bekerja sebagai nelayan, dan ibunya adalah Dindanghail Pining. Nur Misuari adalah keturunan langsung dari Panglima Mahabasser Elidji, seorang prajurit Tausug dan perwakilan dari Kesultanan Sulu, tokoh yang membantu pasukan Brunei di bawah kepemimpinan Sultan Muhyiddin selama perang sipil pecah di Kalimantan bagian utara.

Dosen dan Beristri 6
    Ayah Misuari pindah dari Tapul ke Jolo, Sulu, saat Misuari masih muda. Misuari sekolah di SD Jolo 1949-1955 dan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi hingga tahun 1958. Keluarganya mengalami kesulitan keuangan dan tidak bisa membiaayai Misuari ke perguruan tinggi. Beruntung, Misuari dibantu gurunya mendapatkan beasiswa yang memungkinkan dia untuk belajar di Universitas Filipina di Manila.
    Misuari awalnya ingin menekuni bidang medis. Tapi, dia pindah haluan dan menuntut ilmu politik dan hukum saat semester kedua, mesk dia tahu ayahnya “membenci” profesi pengacara.
Misuari terkenal aktif dalam perdebatan politik di kampus dan meraih gelar sarjana di bidang Ilmu Politik dari Universitas Filipina pada tahun 1962. Dia kemudian melanjutkan studinya untuk meraih gelar master bidang ilmu politik tahun 1964 di Asian Center Universitas Filipina.
    Pada tahun 1964, Misuari mendirikan sebuah kelompok mahasiswa radikal yang dikenal sebagai Bagong Asya (New Asia). Bersama dengan Jose Maria Sison, dia juga mendirikan Kabataan Makabayan (Youth Patriotic). Salah satu kontriversi dari Misuari adalah dia disebut-sebut memiliki enam istri hingga 2015. Istri pertamanya adalah Desdemona Tan, yang meninggal karena sakit di Islamabad, Pakistan. Kakak dari Desdemona, Eleonora Tan kemudian menjadi istri keduanya. Istri ketiga dan keempat adalah Tarhata Ibrahim dan Maimona Palalisan. Sherry Rahim menjadi istri kelima. Identitas istri keenam tidak diketahui.
Melalui mentornya, Dr. Cesar Adib Majul, Misuari menjadi dosen di Universitas Filipina di bidang ilmu politik pada Juli 1966. Dia pensiun dari kampus pada tanggal 15 November 1968.

Gerakan Mindanao Merdeka
    Pada tahun 1960, Misuari membantu mendirikan gerakan Mindanao Merdeka. Tujuannya, mendirikan sebuah negara merdeka di Filipina selatan. Gerakan Kemerdekaan Mindanao inilah yang melahirkan Moro National Liberation Front (MNLF) yang berusaha melakukan reformasi politik di tubuh Pemerintah Filipina.
Cita-cita reformasi belum berhasil, MNLF di bawah kepemimpinan Misuari, kemudian terlibat dalam konflik militer melawan Pemerintah Filipina dan pendukungnya antara 1972-1976. Perlawanan militer kepada pemerintah mantan Presiden Ferdinand Marcos tidak menghasilkan otonomi untuk rakyat Moro. Misuari lantas berangkat ke Arab Saudi hidup di pengasingan. Dia kembali ke Filipina setelah Marcos telah digulingkan saat revolusi pecah tahun 1986.
    Perjanjian Tripoli yang ikut ditandatangani Marcos dilanggar. Misuari dan MNFL-nya kembali menandatangani perjanjian damai dengan Pemerintah Filipina di bawah Presiden Fidel Ramos pada 1990-an. Perjanjian ini menghasilkan daerah otonom untuk Moro dengan Misuari menjadi gubernurnya.

Ditangkap, Dituduh Teroris
     Setelah menjabat gubernur pada tahun 1996, Misuari memimpin pemberontakan terhadap Pemerintah Filipina pada November 2001, namun gagal. Dia melarikan diri ke Sabah, Malaysia. Selama di Sabah, istri ketiganya Tarhatta bersama-sama dengan tiga anaknya diizinkan Pemerintah Malaysia untuk mengunjunginya. Pemimpin Moro Islam Liberation Front (MILF) kala itu menyarankan Pemerintah Malaysia untuk mengirim Misuari ke Arab Saudi atau Libya untuk menghindari "penganiayaan politik" oleh Pemerintah Filipina. Namun, Malaysia pada saat itu dipimpin Perdana Menteri Mahathir Mohamad menolak. ”Kita tidak bisa menghiburnya dengan suaka, di mana Misuari tidak menggunakan kekuatannya dengan benar meskipun kami memberikan dukungan baginya di masa lalu untuk tawaran tentang otonomi yang menciptakan Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM),” kata Mahathir kala itu.
Misuari kemudian dideportasi ke dan jabatannya di Mindanao dilucuti oleh Pemerintah Presiden Gloria Macapagal-Arroyo tahun 2001. Tragisnya, Misuari ditangkap pada tahun 2007 atas tuduhan terorisme. Pada tanggal 20 Desember 2007, jaminan 100 ribu peso untuk Misuari dan tujuh terdkawa lainnya ditolak dan dia menjadi tahanan rumah di Manila. Pada tanggal 25 April 2008, jaminan untuk Misuari diterima. Menurut sumber di Moro, Misuari adalah "pemimpin karismatik" yang memegang kekuasaan besar atas masyarakat adat di Mindanao. Namun dia kalah untuk mendapatkan dukungan ini karena salah urus dan maraknya pejabat yang korupsi selama Misuari menjabat sebagai gubernur untuk ARMM. (sindonews)


 

Senin, 02 Mei 2016

SANDERA ABU SAYYAF BEBAS

Drama Terbebasnya Sandera
Abu Sayyaf di Filipina

10 WNI korban sandera
     Proses pembebasan 10 anak buah kapal (WNI) asal Indonesia dari tangan kelompok teroris Abu Sayyaf menyisakan pertanyaan. Sebab, para korban itu diterbangkan ke Indonesia menggunakan pesawat milik salah satu tokoh politik di Indonesia.
     Kenapa negara enggak menyiapkan pesawat? Itulah yang harus dipertanyakan, apa alasannya?‎," tanya Ray Rangkuti kepada Okezone di Jakarta, Senin (2/5/2016). Menurutnya, pemerintah perlu menjelaskan alasan para sandera tersebut diterbangkan tidak dengan pesawat milik pemerintah. Jika tidak, maka akan muncul berbagai kecurigaan dari masyarakat.
     "Itu yang harus diberi penjelasan soal kenapa proses penjemputannya tidak dipakai pesawat milik pemerintah, publik juga perlu tahu agar transparan," tukasnya.
Diketahui, 10 WNI tersebut sudah tiba di Jakarta kemarin malam, Minggu 1 Mei 2016. Mereka kemudian langsung dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk menjalani pemeriksaan kesehatan.
    Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mengapresiasi jajaran pemerintah yang berhasil membebaskan 10 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang disandera oleh kelompok teroris Abu Sayyaf di Perairan Filipina. Pembebasan itu sukses dilakukan karena diplomasi multijalur. Artinya, para WNI bisa kembali ke Tanah Air berkat kerja sama dari berbagai pihak, seperti pemerintah, aktivis perdamaian hingga kelompok pemuka agama.
    "Kemudian juga tentu kelompok swasta perusahan sendiri yang punya tanggung jawab utama untuk membebaskan sandera karena itu ABK mereka," ujar Hanafi saat dihubungi Okezone di Jakarta, Minggu (1/5/2016) malam. Oleh karena itulah, Hanafi tak mau nantinya ada pihak yang cari panggung dalam kasus ini. Apalagi nantinya dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
    "Kita ingin mendengar cerita yang sebenarnya bagaimana, karena kita juga tidak ingin hasil kerja multijalur seolah-olah diklaim secara politik oleh salah satu pihak. Ini sebaiknya kita apresiasi bersama, semua punya peran, tidak perlu diklaim," tegasnya. Meski begitu, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini tak mau mengungkapkan pihak yang dimaksudnya secara gamblang. "Ya biasalah, ada yang pengen manggung. Kepada siapapun, ini kan soal nyawa manusia jangan dipolitisasi," sindirnya.


     Salah satu negosiator yang ikut dalam pemulangan 10 warga negara Indonesia yang disandera oleh perompak di Filipina pimpinan Abu Sayyaf menganalogikan peristiwa tersebut sebagai "ulah nakal anggota keluarga."(liputan6) "Intinya ini ada anak nakal dalam satu keluarga. Nah, bagaimana kita komunikasi dengan itu," kata negosiator Eddy Mulya sebagai Minister Counsellor, Koordinator Fungsi Politik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila, Filipina, saat ditemui di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (2/5/2016).
      Ia menekankan bahwa pembebasan 10 WNI tersebut murni atas hasil negosiasi tanpa adanya uang tebusan. "Ini full negosiasi. Ada sahabat saya Pak Baidowi dengan teman-teman mereka yang atur, kita tindak lanjutnya," tutur Eddy. Dia mengungkapkan bahwa pendekatan yang dilakukan lebih kepada hubungan antarpersonal yang sudah terjalin melalui kerjasama pendidikan.
Dalam hubungan tersebut ada seseorang yang dituakan dan dihormati bersama sehingga menghasilkan perundingan pembebasan sandera 10 WNI.

      Eddy tidak mau menyebut apabila negosiasi yang dilakukan berkaitan dengan adanya utang budi pihak penyandera dengan tim negosiasi yang dipimpin Baidowi. "Kita nggak ada utang budi. Jangan berpikiran negatif. Kita kerja sama sesama umat Islam," jelas dia. Dalam siaran pers yang diterima disebutkan bahwa pembebasan sandera dilakukan atas kerja Tim Kemanusiaan Surya Paloh yang merupakan sinergi gabungan jaringan pendidikan Yayasan Sukma atau Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, pimpinan Ahmad Baidowi.
      Namun Eddy mengatakan dirinya tidak bisa menceritakan secara detil tentang proses penyanderaan hingga pembebasan 10 WNI yang merupakan anak buah kapal Brahma-12. Dia juga enggan menjawab pertanyaan apakah motif penyanderaan murni uang tebusan. Sementara, menurut negosiator yang mewakili perusahaan, Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein dirinya bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf sejak 27 Maret 2016. Sejak hari itu, kata Kivlan pihaknya terus melakukan pendekatan atas nama perusahaan PT Patria Maritime Lines. Kivlan juga mendapat bantuan dari pihak lokal di Filipina.
      Terutama, kata Kivlan, bantuan itu diberikan oleh Gubernur Sulu Abdusakur Tan II yang merupakan keponakan pimpinan Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari. Bantuan itu sangat berguna karena penculiknya Al Habsyi Misa merupakan mantan supir dan pengawalnya saat menjadi Gubernur Otonomi Muslim in Mindanao atau ARMM pada 1996-2001. "Maka, saya sebagai wakil perusahaan meminta bantuannya untuk membujuk sang penculik WNI, dan berhasil membujuknya," kata Kivlan.
      Sementara itu, anggota Badan Intelijen Strategis (Bais) dan intel Filipina mendekati kepala desa, camat, wali kota dan gubernur Sulu untuk membujuk penculik. Mereka juga mengancam akan melakukan serangan militer dan pemboman kepada kelompik militan itu. Dengan negosiasi dan tekanan itu, maka kelompok Abu Sayyaf melepaskan sandera WNI