Rabu, 31 Maret 2010

Negeri Para Penjahat dan Koruptor

Hidup di Indonesia ini sepertinya sudah tidak ada lagi keberkahannya. Hidup penuh dengan kedustaan, kebohongan, kepalsuan, menipu, dan segela bentuk kejahatan dan perilaku yang menyimpang. Sogok dan suap sudah menjadi ‘aqidah’.
Tak ada lagi para penegak hukum yang tak pernah ‘menelan’ sogok dan suap. Sepertinya tidak ada setitikpun harapan yang dapat diharapkan bagi masa depan Indonesia. Seakan semua manusia bergerak ke arah perbuatan yang nista itu.

Belum usai kasus Bank Century, yang diputuskan DPR, dan sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya, dan mungkin dibiarkan, tanpa ada langkah-langkah konkrit, khususnya terhadap para penanggung jawab yang telah menggelontorkan dana bailout kepada Bank Century Rp 6,7 triliun, sekarang semua orang membicarakan sosok Gayus Tambunan, yang hanya golongan III A dari pegawai Dirjen Pajak, menjadi seorang milyarder, yang kekayaannya sangat fantastis, dan yang diungkap dari hasil korupsi/sogokan mencapai Rp 25 miliar. (berita Republika,30/3/2009, jumlahnya Rp 28 miliar)
Lalu, ada yang membuat rekaan analisis, bila pegawai pajak jumlahnya 32.000, seandainya yang bermental seperti Gayus Tambunan 10 persen saja, maka 3200 dikalikan Rp 25 milyar, hasilnya sudah Rp 80 triliun. Bagaimana seandainya yang bermental seperti Gayus Tambunan itu, misalnya 90 persen, maka 28.000 dikalikan Rp 25 miliar, maka hasilnya mencapai 720 triliun. Sungguh luar biasa.

Inilah kisah negeri yang dihuni para penjahat, koruptor, tukang tipu, tukang sogok dan suap, para maling uang negara, dan semuanya tak ada yang merasa malu sedikitpun, di raut wajah mereka. Para koruptor dan maling uang negara, dan tukang sogok, ketika di pengadilan tak sedikitpun ada rasa penyesalan mereka, dan wajah mereka tetap ceria, dan menebar senyum ke mana-mana, dan wajah mereka tegas-tegas menatap kamera saat bertemu dengan para wartawan.
Negeri ini benar-benar aneh. Negeri yang para birokrat dan pejabat serta penguasanya sangat aneh dan ajaib. Mereka mempunyai prinsip, watak orang Indonesia itu, suka ‘pelupa’. Jadi, kalau mereka korup, maling uang negara, menerima sogok dan suap, lantas kasusnya dibawa ke pengadilan, prinsipnya pasti rakyat akan lupa, tak akan ingat lagi peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Maka mereka mempunyai hobi 'menilep' uang negara, dan menerima sogok dan suap.
Lihat saja kasus pemilihan deputi senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Gultom, yang sangat menyesakkan dada, ada anggota dewan dari PDIP, Golkar, PPP, dan Fraksi TNI/Polri, yang menerima uang 'balas budi' nilainya bermilyar-milyar, dan dijelaskan dengan gamblang dan terang benderang. Tapi, sampai sekarang yang ditekuk di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) hanya yang menerima travel cheque, tapi yang menyogok, masih dapat tertawa-tawa di rumahnya.
Sesudah mantan Kabareskrim Polri, Susno Duadji, membuat ‘nyanyian’ tentang Gayus Tambunan tentang raibnya uang Rp 25 miliar yang raib, seakan-akan petir disiang bolong, dan semuanya menjadi ‘kiamat’, tapi itu hanya sebentar saja. Karena mereka yang sudah mendarah daging dengan kejahatan, pasti mereka tak akan pernah jera dengan berita dan siaran di media, siang dan malam. Bahkan tak segan-segan mereka berani membela diri.
Buktinya tak akan ada pengadilan yang menjatuhkan hukuman berat bagi mereka yang telah melakukan kejahatan, yang berkaitan dengan korupsi, sogok, suap, dan maling uang negara. Kasus yang paling spektakuler dalam sejarah bangsa ini, yaitu kasus BLBI yang menghabiskan Rp 650 triliun, dan tidak ada yang dihukum berat, dan hanya beberapa gelintir orang. Disusul kasus bail out Bank Century Rp 6,7 triliun, sepertinya kasus ini akan berlalu bersamaan dengan waktu.
Para pejabat dan penagung jawab dibidang penegakkan hukum, hanya sibuk membuat pernyataan di media eletronik dan media cetak. Tidak ada tindakan yang konkrit dan nyata terhadap mereka. Para penjahat itu, tak ada yang jera, karena mereka sudah tahu hukumannya, dan hukumannya itu dapat diatur, seperti yang dilakukan Gayus Tambunan yang di vonis bebas oleh pengadilan. Untuk apa takut berbuat kejahatan, dan melakukan korupsi serta maling uang negara, faktanya tak akan ada hukuman yang berarti.
Denny Indrayana yang menjadi sekretaris Satgas Pemberantasan Makelar Kasus, hanya setiap malam ada di TV, dan menjadi seakan ‘bintang film’, dalam sebuah film yang bernama Gayus Tambunan. Betapa absurdnya kehidupan para pejabat di negeri ini, buktinya, Gayus Tambunan, sebelumnya sudah bertemu dengan orang-orang Satgas Pemberantas Makelar Kasus, seperti Deny Indrayana dan lainnya, tapi mengapa masih dapat pergi meninggalkan Indonesia, dan tidak ditangkap serta di tahan? Sesudah pergi dari Indonesia baru keluar dari Polri, tindakan pencekalan. Inilah yang menjadi sebuah bukti ketidak seriuasan para pejabat penegak hukum di Indonesia dalam menangani kasus korupsi.
Dari kasus Gayus Tambunan ini terungkap seluruh aparat penegak hukum terlibat, polisi, jaksa, , aparat pajak, dan aparat penegak hukum lainnya, secara sistemik terlibat dalam terlibat dalam kasus ini. Ini hanyalah salah satu kasus telah merembet ke semua institusi penegak hukum, dan lembaga lainnya.
Denny Indrayana selaku sekretaris Satgas Mafkelar Kasus, mengusulkan agar dilakukan pembuktian terbalik. Tapi, ada yang memberikan komentar, ketika berlangsung diskusi di TV swasta di Jakarta, presenternya mengomentari gagasan Denny, kalau itu dilakukan adanya pembuktian terbalik terkait dengan kekayaan pajabat, maka Indonesia akan bubar. Tidak ada penjabat yang dapat kalis, dari kasus sogok, suap, dan maling uang negara. Salah bukktinya Gayus Tambunan yang hanya golongan III A, faktanya dapat menjadi milyader. Bagaimana pejabat yang lebih tinggi?
Menkeu Sri Mulyani, sering mendapatkan pujian setinggi langit, bahwa berhasil melakukan reformasi birokrasi Depkeu, tapi dengan Gayus Tambunan, sebenarnya reformasi apa yang dikatakan berhasil oleh Menteri keuangan itu? Kenyataannya menjadi 'abal', walaupun gajinya para pegawai pajak sudah dinaikkan, tak menutup tindakan korup mereka.
Gayus Tambunan hanyalah golongan III A dari pegawai Dirjen Pajak, lalu pejabat-pejabat lainnya bagaimana? Bagaimanan kalau dilakukan pembuktian terbalik atas segala kekayaan yang mereka miliki itu? Dari mana sumbernya? Apakah mereka yang menjabat sebagai birokrat dan penjabat dapat mempertanggungjawabkan harta kekayaan mereka?
Salah seorang mantan Dirjen Pajak, yang sekarang menjadi pejabat di BPK, memiliki kekayaan yang bermilyar-milyar, dan berdasarkan pengakuannya, sebagian kekayaan yang dimilikinya berasal dari hibah. Pantaslah kalau Indonesia tidak pernah naik peringkatnya sebagai negara paling korup di muka bumi ini. Wallahu’alam.(diunduh dari: eramuslim)

Senin, 29 Maret 2010

Jenderal Nasution : Menulis Buku yang Dibaca Militer AS


Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas menarik pelajaran kedua. Rakyat perlu mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini makin matang setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949).
Nggak heran, Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Gaya perang inilah yang kemudian dipopulerkan oleh Jenderal Sudirman. Dan tahukah Anda, Ho Chi Minh, Pemimpin Besar Vietnam Utara ternyata belajar menggunakan taktik gerilya dari bukunya Abdul Haris Nasution yang fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya ini menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.


Meski tentara AS telah mengembangkan persenjataan yang sangat canggih (penggunaan rudal air-to-air adalah yang pertama kali di dunia digunakan dalam suatu peperangan), tetap aja mereka tak berdaya menghadapi taktik gerilya yang diterapkan NVA dan VC. Gara-gara taktik gerilya itu, AS harus mengeluarkan dana perang yang sangat besar untuk mendukung tentara AS di Vietnam. Dan itu menimbulkan protes keras di dalam negeri sendiri. Gelombang protes silih berganti menuntut pemerintah menarik pasukan AS dari Vietnam. Perang yang berlangsung selama 18 tahun yang merupakan perang terlama yang pernah dialami oleh AS.
Sekalipun hidup dengan perjuangan berliku, toh Tuhan adil. Menjelang akhir hayatnya, Pak Nas diberi penghargaan sebagai Jenderal Besar. Sebuah gelar yang memang layak disandang seorang sekelas Pak Nas. Namun ajal tak bisa dicegah. Tubuh renta Jenderal itu pun menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Gatot Subroto, 5 September 2000. Ia meninggal tanpa kemewahan. Bahkan rumahnya pun tetap terlihat kusam, tak semegah rumah para Jenderal besar di masa Orde Baru. Meski demikian, nilai-nilai luhurnya bisa kita petik.